Daripada mengutuk kegelapan, Lebih baik Menyalakan Lilin;
Menuju Era Baru Pembiayaan Umi,Ikhtiar Bersama Bangkitkan UMKM Kita
Oleh : RUSLI KASENG
(Jurnalis BeritaNomorSatu.Com)
Pembangunan nasional bertujuan untuk mencapai standar kualitas hidup masyarakat seperti tingkat
kesejahteraan, kesehatan maupun pendidikan. Salah satu bagian dari pembangunan yang penting bagi
masyarakat adalah pembangunan ekonomi. Pencapaian pembangunan ekonomi dapat diindikasikan dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pendapatan perkapita, luasnya kesempatan kerja, berkurangnya tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk di suatu daerah meningkat dalam jangka panjang. Kegiatan ekonomi dilaksanakan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat, mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk merangsang perkembangan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan ekonomi kerakyatan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia agar mampu mengolah sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan guna meningkatkan pandapatan dan kesejahteraan. Kemudian mendorong masyarakat, pengusaha kecil dan menengah untuk berkembang serta mampu mendukung berkembangnya ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Seperti diketahui bersama Ekonomi kerakyatan berpedoman pada sila keempat Pancasila yang dapat didefinisikan secara sederhana bahwa istilah ekonomi kerakyatan akan mengandung unsur demokrasi di dalamnya. Demokrasi yang muncul dan digali dari kearifan lokal. Demokrasi yang menjadi ciri khas Indonesia adalah musyawarah untuk mencapai mufakat.
ekonomi dimana selain ada sektor formal yang umumnya didominasi oleh pengusaha dan konglomerat terdapat sektor informal dimana sebagian besar anggota masyarakat hidup. Oleh karena itu, ekonomi rakyat berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat disuatu daerah tertentu. Ekonomi kerakyatan merupakan terminologi yang digagas oleh Mohammad Hatta pasca kolonialisme Hindia Belanda dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang pada saat itu menempatkan kaum pribumi dalam kelas dan strata sosial paling bawah. Ekonomi kerakyatan diciptakan sebagai cara untuk menjadikan bangsa pribumi sebagai tuan di negeri sendiri. Yang Kemudian, konsep ekonomi kerakyatan tersebut secara gamblang dinyatakan dalam konstitusi Republik Indonesia Pasal 33 UUD 1945.
Tentang UMKM di Indonesia
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2008 tentang UMKM Pasal 1, dinyatakan bahwa Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memiliki kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam
UU tersebut. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang buka merupakan anak perusahan
atau bukan anak cabang yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung
maupun tidak langsung, dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria
usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.
Sedangkan usaha mikro adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang
dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung, dari usaha mikro, usah kecil atau usaha besar yang
memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Di dalam
Undang-undang tersebut, kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan UMKM seperti yang
tercantum dalam Pasal 6 adalah nilai kekayaan bersih atau nilai aset tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha, atau hasil penjualan tahunan.
Jadi dapat disimpulkan sesungguhnya jika UMKM adalah unit usaha produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha di semua sektor
ekonomi. Pada prinsipnya, pembedaan antara Usaha Mikro (UMI), Usaha Kecil (UK),
Usaha Menengah (UM), dan Usaha Besar (UB) umumnya didasarkan pada
nilai aset awal (tidak termasuk tanah dan bangunan), omset rata-rata per tahun,
atau jumlah pekerja tetap.
Tahun 2020, Fase Pergulatan UMKM di indonesia
Sejarah kembali berulang. Setelah krisis ekonomi 1998 dan 2008 mendera negeri ini, sekali lagi (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) UMKM diuji sebagai bumper ekonomi nasional. Lolos sebagai dinamisator ekonomi selama krisis-krisis sebelumnya, pandemi menjadi ujian terberat mereka. Asian Development Bank (2020) dalam hasil survei dampak Covid-19 di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Laos menyatakan sebanyak 48,6% UMKM di Indonesia terpaksa menutup usahanya. Sebagian besar disebabkan menurunnya permintaan domestik (30,5%), penundaan pengiriman (13,1%), pembatalan kontrak pesanan (14,1%), hambatan produksi dan distribusi (19,8%).
Kondisi memprihatinkan ini tentunya i menyebabkan 52,4% pelaku UMKM kehabisan uang tunai dan tabungan sehingga tidak memiliki modal untuk melanjutkan usahanya, sedangkan 32,8% lainnya hanya punya uang cadangan dalam sebulan ke depan. Untuk mencukupi modal kerja yang diperlukan untuk bangkit berusaha kembali, mereka meminjam dari keluarga dan kerabat (39%), memakai dananya sendiri (24,6%), meminjam dari Lembaga Keuangan Bukan Bank (10,5%) dan hanya 1% yang berhasil meminjam dari perbankan.
Hasil survei ADB ini sesungguhnya cukup untuk memberikan gambaran akan kesulitan pelaku UMKM di tengah kebijakan PSBB nasional yang baru mulai dilaksanakan pada bulan April 2020 dan simpang siur kebijakan daerah menanggapi penyebaran virus yang semakin meluas. Di lapangan, pelaku usaha kesulitan menjalankan usahanya karena penutupan pasar tradisional, pembatasan bepergian keluar wilayah tempat tinggal dan terhambatnya pasokan bahan baku usaha. Di sisi lain, lembaga pembiayaan juga mengalami kesulitan dalam menagih angsuran, menawarkan pembiayaan baru untuk model kerja dan mendampingi pelaku usaha karena faktor penyebab yang sama. Alhasil, tingkat kredit macet atau NPL meningkat tajam selama semester 1 tahun 2020.
Pandemi Covid-19 yang sedang merebak hingga saat ini tidak hanya berdampak negatif pada kesehatan saja. Akan tetapi, juga berdampak pada bidang pendidikan, sosial, dan terutama sangat berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Pandemi sangat berdampak pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pada tahun 2018, menurut Kementerian Koperasi danUsaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM), jumlah UMKM di Indonesia adalah sekitar 64.194.057 buah, dengan daya serap sebanyak 116.978.631 total angkatan kerja. Angka ini setara dengan 99% total unit usaha yang ada di Indonesia, dengan persentase serapan tenaga kerja di sektor ekonomi setara dengan 97% dan 3 persen sisanya pada sektor industri besar. Berdasarkan penelitian pada bulan April 2020 yang dilakukan oleh Kemenkop UKM, pandem Covid-19 mengakibatkan sejumlah 56% UMKM mengalami penurunan pada hasil omzet penjualant, 22% lainnya mengalami kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan atau kredit, 15% mengalami permasalahan dalam distribusi barang, dan 4% sisanya kesulitan mendapatkan bahan baku mentah. Dari seluruh UMKM yang terdata dalam riset ini, komposisi UMKM yang bergerak dalam industri mikro menempati angka 87.4%. Angka ini menunjukkan fakta yang lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar 72,6% dan lebih rendah dari yang dilaporkan oleh LIPI yaitu sebesar 94,7%. Kedua riset terakhir dilakukan pada bulan Juni 2020, akhir Kuwartal II tahun 2020. Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar PSBB dan social distancing secara langsung dapat menghambat UMKM dalam kegiatan distribusi sehingga menyebabkan terjadi penurunan omzet penjualan dari UMKM.
Di samping itu, UMKM yang bergerak di usaha makanan dan minuman mikro terdampak sebesar 27%. UMKM yang terdiri atas usaha kecil makanan dan minuman, terpengaruh sebesar 1,77% dan UMKM yang tergolong usaha menengah, terpengaruh di angka 0,07%. Selain itu, pandemi Covid-19 juga berdampak terhadap usaha mikro sebesar 17,03%. Usaha kecil di sektor kerajinan kayu dan rotan terpengaruh sebesar 1,77% dan usaha menengah sebesar 0,01%. Di satu sisi, konsumsi rumah tangga terdampak sekitar 0,5% hingga 0,8%.
Daripada Mengutuk Kegelapan lebih baik menyalakan lilin
Sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Wabah ini membuat roda perekonomian di sektor UMKM tersendat. UMKM selama ini menjadi salah satu penopang ekonomi nasional. Setidaknya terdapat lebih dari 64 juta unit UMKM yang berkontribusi 97 persen terhadap total tenaga kerja dan 60 persen PDB nasional. UMKM juga berkontribusi signifikan GDP mencapai 20 persen sampai 50 persen. Jumlah ini menunjukan peran UMKM yang sangat besar bagi perekonomian nasional.
Meskipun penuh dengan tantangan, sektor UMKM masih memiliki harapan dan peluang untuk meningkatkan skala bisnisnya. Peluang bisnis UMKM tidak terbatas (unlimited), artinya bidang apa saja dapat berpotensi untuk dijadikan bisnis UMKM meskipun sedang terjadi wabah Covid 19. Asalkan para pelaku UMKM memiliki banyak ide kreatif, keahlian dan ketrampilan yang bisa dijual secara online dan offline. Peluang untuk meningkatkan ekspor masih terbuka lebar apabila pelaku UMKM mau melakukan inovasi produk dan mendesainnya dengan memanfaatkan teknologi. Terdapat tiga sektor yang memiliki peluang besar bagi UMKM untuk dapat meningkatkan ekspornya di tengah pandemi seperti saat ini seperti produk makanan dan minuman, fashion serta furniture dan kerajinan. Sebagai bentuk kegiatan atau dukungan kepada UMKM, dicetuskannya beberapa program seperti Gerakan Belanja di Warung Tetangga. Selain itu dukungan program produksi alat pelindung diri oleh UMKM. Tidak hanya para pelaku UMKM saja, kaum milenial yang ingin terjun dalam dunia bisnis hendaknya dapat memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Saat ini pemerintah juga terus menggencarkan dan mendorong pertumbuhan usaha mikro kecil dan menengah melalui berbagai kebijakan.
PIP dalam Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional
Dapat diakui bahwa sejak keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2020 yang mendukung pelaksanaan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah memacu percepatan peraturan turunan yang dapat segera digunakan menanggapi kesulitan yang dihadapi oleh para pelaku UMKM. Kementerian Keuangan tercatat mengeluarkan peraturan turunannya, PMK No 65 tahun 2020 dalam tiga minggu berikutnya. Dalam PMK ini diatur tentang tata cara pemberian subsidi bunga para pelaku UMKM yang terdampak pandemi.
Kebijakan ini menjadi pelengkap program restrukturisasi yang diberikan oleh PIP kepada para pelaku usaha mikro yang mendapatkan pembiayaan Ultra Mikro (UMi) di tahun 2020. Relaksasi yang diberikan melalui Perdirut PIP No.5 dan No.7 tahun 2020 berupa keringanan penundaan pembayaran angsuran kewajiban pokok dan pemberian masa tenggang selama maksimal enam bulan . Sampai dengan akhir tahun 2020, terdapat sebanyak 266.000 debitur pembiayaan UMi mendapatkan penundaan pokok senilai Rp738 miliar. Sedangkan untuk pemberian masa tenggang atas pembiayaan baru telah diberikan senilai Rp1,547 triliun.
Dalam membantu program pemerintah terkait PEN, PIP juga memfasilitasi satu juta debitur pembiayaan UMi untuk mendapatkan subsidi bunga/margin dan 55 ribu debitur mendapatkan Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) senilai Rp129 miliar. Tidak hanya itu, selain dukungan pembiayaan, PIP juga memberikan pelatihan dan pendampingan pemasaran secara daring di media sosial dan marketplace kepada debitur UMi bekerja sama dengan lembaga pendampingan dan instansi terkait lainnya.
Kerja sama yang baik dengan para penyalur dan pelaksanaan beragam program untuk mengenal karakter debitur sedikitnya membuahkan hasil. Pada tahun 2020, sebanyak 1,76 juta debitur mendapatkan pembiayaan UMi atau naik sebesar 220% dari target yang dicanangkan. Secara agregat, selama PIP berdiri, pembiayaan kepada pelaku usaha ultra mikro ini telah dirasakan oleh 3,4 juta debitur. Selain itu, tahun lalu juga menjadi saksi untuk kali pertamanya, PIP menyalurkan pembiayaan skema Syariah. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung yaitu sebesar Rp1,467 triliun atau sekitar 20% dari akad pembiayaan PIP.
“New Normal” dan “New Era” Penyaluran Pembiayaan UMi
Melalui kedua beleid tersebut yang selanjutnya akan diturunkan dalam peraturan teknis/Perdirut, PIP memasuki era baru penyaluran pembiayaan UMi. Mulai tahun ini, PIP dapat menyalurkan pembiayaan sampai dengan Rp20 juta dan bekerja sama dengan Koperasi Simpan Pinjam, Balai Usaha Mandiri Terpadu (BMT), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau Lembaga pembiayaan lain yang berstatus hukum sebagai penyalur langsung. Tidak perlu melalui PT Bahana Artha Ventura yang selama ini menjadi penyalur tidak langsung. Selain itu potensi kerja sama dengan fintech Peer to Peer Lending (P2P) dalam memperluas penyaluran juga sangat terbuka lebar. Sama halnya dengan penerapan digitalisasi dalam penyaluran pembiayaan UMi melalui penggunaan uang eletronik.
Bukan hal yang mudah, tetapi juga bukan mustahil dilakukan. PIP harus dapat memaksimalkan kedua kebijakan tersebut untuk menjaga momentum penyaluran pembiayaan kepada pelaku usaha mikro yang un-bankable dan underbanked sesuai dengan yang diamanatkan. Menjadi jembatan kolaborasi dengan pihak lain perlu terus dieksplorasi, karena PIP tidak akan dapat melakukannya sendirian. Perlu banyak pembelajaran dan benchmarking untuk menguatkan sisi kelembagaan dan core business PIP. Salah satunya mengenal lebih jauh tentang karakteristik para penyalur dan para debiturnya (Know Your Customer) yang tidak hanya bermanfaat dalam memperluas penyaluran, tetapi juga mitigasi risiko yang akan muncul karena pandemi.
PIP harus optimis ini akan berhasil. Seperti yang pernah disampaikan Menteri Keuangan dalam sebuah forum, bahwa perekonomian kita dalam situasi pandemi ini banyak sekali yang harus ikut berkontribusi, bergotong-royong untuk memulihkan kembali, dan salah satunya yang paling penting adalah bagaimana mendukung usaha kecil menengah agar mereka tidak saja bisa bertahan namun juga bisa bangkit kembali dan bangkit dengan lebih kuat, Semoga...!!!